Nanggroe Aceh Menjelang Pilkada

Sabtu, 25 Juni 2011
Di sejumlah daerah, Aceh tergantung kepada partai lokal. Hanya saja, Partai Aceh menjadi dominan Tahun depan, Provinsi Aceh melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) untuk kedua-kalinya. Sudah hampir lima tahun Aceh dibangun oleh kepala-kepala daerah hasil pilihan rakyat. Tipologi kepala daerah kebanyakan datang dari calon perseorangan. Sementara yang didukung oleh partai politik nasional jarang terpilih dalam Pilkada 2006.
Implikasinya adalah hubungan antara kepala-kepala daerah dengan legislatif daerah menjadi kurang kompak menjelang Pemilu 2009. Peran legislator daerah kurang maksimal. Pasca Pemilu 2009, partai lokal menguasai legislatif daerah di sebagian besar daerah kabupaten dan kota. Persoalan utama muncul, yakni kelemahan dalam bidang manajemen pemerintahan daerah.
Bagaimanapun, para legislator yang diterjunkan dalam Pemilu 2009 dari Parpol lokal berasal dari kombatan dalam konflik Aceh versus Jakarta. Jangankan untuk memahami keseluruhan produk perundang-undangan, bahkan dalam berbahasa Indonesia saja mengalami kesulitan. Sekalipun begitu, sebagai produk politik dalam sistim demokrasi, keadaan ini tidak terlalu dipermasalahkan. Lembaga-lembaga internasional dan nasional bahu-membahu dengan pegiat-pegiat lokal dalam melakukan pendidikan ketata-negaraan.
Partai-partai politik nasional juga tahu diri. Dalam menghadapi kelemahan-kelemahan sumberdaya manusia itu partai nasional justru lebih banyak menahan diri. Sikap oposisi tidak terlalu ditunjukkan terhadap partai lokal. Kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan. Situasi ini menyebabkan Aceh berada dalam suasana yang kondusif. Kegiatan investasi berlangsung baik.

Kandidat perseorangan
Bagaimana kini? Di sejumlah daerah, Aceh tergantung kepada partai lokal. Hanya saja, Partai Aceh menjadi dominan. Pada prinsipnya, hegemoni terjadi, sehingga mengurangi peluang kehadiran kandidat dari partai lain. Tingkat kemenangan di atas 70% menyebabkan Partai Aceh menjadi partai yang berhak mengajukan pasangan calon dalam Pilkada. Akibatnya, partai lain mengalami sedikit peluang.
Hal ini pada gilirannya menyulitkan suksesi politik dalam Pilkada. Bahkan ada daerah yang potensial menghadirkan pasangan tunggal, karena partai politik lain tidak bisa mengajukan pasangan calon. Kebuntuan ini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, mengingat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh hanya membolehkan sekali saja Pilkada dengan kandidat perseorangan. Padahal di daerah lain di luar Aceh, justru kandidat perseorangan diperbolehkan tanpa batasan waktu. Kehadiran kandidat perseorangan di daerah lain itu jug berdasarkan pertimbangan bahwa Aceh memberlakukannya.
Guna menghindari dualisme hukum di Indonesia, selayaknya Aceh juga menerima (kembali) kehadiran kandidat perseorangan dalam Pilkada 2011. Kondisi ini akan mengakhiri kebuntuan politik akibat dominasi satu partai politik saja. Bagaimanapun, undang-undang bisa saja keliru dalam memberikan tafsiran atas demokrasi. Kekeliruan itu terbukti di Aceh. Batasan dalam undang-undang menyebabkan tidak ada Parpol yang bisa mengajukan pasangan calon dalam Pilkada.
Penolakan dari sejumlah kalangan untuk pemberlakuan kandidat perseorangan ini menunjukkan bahwa akses politik warga Aceh bisa terbatasi. Justru dalam zaman demokrasi. Maka, cara-cara konstitusional untuk mengembalikan hak warga untuk mencalonkan diri tanpa jalur partai politik itu layak dilakukan. Belahan Indonesia yang lain bisa, kenapa Aceh tidak?

Pembelajaran untuk Indonesia
Dalam kancah politik yang lebih tinggi, DPR RI mestinya belajar dari kondisi Aceh ini. Dalam menyusun legislasi nasional, selayaknya tidak lagi dibuka kemungkinan partisipasi politik menjadi hilang, karena persyaratan yang sengaja dibuat untuk mengurangi peserta Pilkada.
Pilpres 2009 bisa saja kehilangan kontestan, seandainya koalisi politik tidak terjadi. Hanya satu partai politik saja yang memenuhi syarat mengajukan pasangan Capres-Cawapres secara sendirian, yakni Partai Demokrat. Sisanya harus berkoalisi atau terpaksa berkoalisi.
Pelajaran mahal ini mestilah mewarnai penyusunan paket undang-undang bidang politik. Syarat-syarat yang lebih longgar idealnya dilakukan untuk menghindari kebuntuan politik. Syarat dukungan kursi legislatif atau jumlah suara sah dalam Pemilu legislatif untuk Pilpres layak dikurangi. Begitupula, bukan saatnya lagi melibatkan partai politik dalam penyelenggaraan Pemilu.
Mengapa? Coba bayangkan apabila penyelenggara Pemilu dimasuki kalangan partai politik. Boleh saja di KPU Pusat terdapat 9 wakil partai politik dari 9 partai politik. Bagaimana kalau di Aceh? Seandainya ada 5 orang anggota Komite Pemilihan Independen Aceh, bisa saja 4 orang berasal dari satu partai politik lokal yang dominan di Aceh saat ini. Dan gambaran tadi bisa terjadi dalam bentuk berbeda di daerah lain.
Intinya, Aceh memberikan pengetahuan baru tentang dominasi dan hegemoni yang pada gi

0 komentar:

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))